The festive repetitive narrative to simply survive

 

 

Coffee on paper by Anang Dianto


Vincent,

Kita terombang-ambing di bentangan samudera yang entah dari mana bermula dan dimana berujung. Pada perahu penuh yang tidak begitu kokoh namun tidak juga rapuh. Ombak mana lagi yang harus kita terjang, arus tenang apa lagi yang harus kita kenang. Semua memegang teguh kompasnya masing-masing, hingga tidak ada lagi arah yang tersisa. Pasrah ataupun mencoba, langkah kita akan selalu takluk pada arus laut yang juga hanya pasrah mengikuti gravitasi bulan. Sama seperti semua hal yang tak terukur, perjalanan kita tidak pernah bisa ditentukan dengan seberapa jauh.

 

Vincent,

Kita pernah menangis, menjerit, berteriak pada ombak yang menggulung-gulung dan badai yang menghantam. Menambal sedikit demi sedikit lubang agar tidak tenggelam. Berharap cuaca berganti dan arus lebih tenang. Namun ketika keadaan menjadi hening, ternyata suara dari dalam jauh lebih memekakkan. Ada yang berharap pada putaran semesta, ada yang bergantung pada apa yang ada, anehnya dengan ataupun tanpa alasan kita tetap ada dan nyata.

 

Vincent,

Kita disatukan oleh kesendirian yang kolektif. Tidak serupa namun juga tidak sepenuhnya berbeda. Sedikit banyaknya kita memiliki kegelisahan dan keragu-raguan yang sama. Ada yang bahagia, ada yang berduka, ada yang kecewa, ada yang menista, segala bentuk rasa dan peristiwa tidak ada yang benar-benar istimewa. Pada kemudian yang kesekian, kita akan menjadi bayang-bayang yang mungkin bahkan terlalu remang untuk dikenang.

 

 

 

Leave a Reply

mentarinadya. Powered by Blogger.