Setelah semua ini, lantas apa?



At Eternity's Gate. By Vincent Van Gogh

"Saya sering terlibat dengan percakapan tiba-tiba tentang mempertanyakan kehidupan. Banyak yang pada akhirnya berujung pada subjektifitas masing-masing individu, entah antara lelah akan perdebatan tanpa akhir atau memang pada akhirnya sadar hal tersebut tidak perlu dipertanyakan. Entah, manusia sekarang terlalu pintar untuk menerima begitu saja segala sesuatu. Kita menggantungkan keyakinan pada pertanyaan-pertanyaan dan membiarkan siapa saja menjawab. Pada akhirnya saya sadar hidup jauh menjadi lebih mudah tanpa banyak pertanyaan."

 Kira-kira begitulah yang tertulis di buku catatan saya beberapa minggu yang lalu setelah terlibat sebuah percakapan dengan seorang teman. Mungkin saat ini saya sedang berada pada sebuah fase dimana lelah dengan mempertanyakan dan dipertanyakan. Karena menurut saya tidak ada jawaban yang pasti sebelum semuanya benar-benar berakhir, berakhir dalam arti yang sebenarnya.

Belakangan ini saya dihadapkan dengan dua kematian teman, dan beberapa masalah, disini saya tidak mencoba mengklaim bahwa saya adalah orang dengan masalah terbanyak di dunia, atau meminta simpati siapapun. Saya akui beberapa kejadian belakangan ini mempengaruhi saya secara emosional, dan beberapa tetap mengendap kemudian lalu lalang dalam kepala.

Kematian?
Ya, kematian. Entah, bagi saya kematian adalah makna sebenarnya dari "sendiri". Kesendirian yang absolut. Dimana tidak ada hal lain yang terlibat selain diri kita sendiri.
Saya sering sekali terjebak dalam pikiran saya sendiri mengenai kematian, ada perasaan ketakutan yang aneh tiba-tiba menyergap. Gelap, dingin, dan terasingkan. Entah bagian mana yang paling menakutkan.
Sejak kecil saya sangat takut gelap.
Bukan gelap yang temaram, tapi gelap yang benar-benar gelap. Gelap total.
Dulu, saya sering terbangun pada malam hari ketika listrik mati. Gelap total. Tak ada yang bisa dilihat, bahkan bagian tubuh kita sendiri. Saya mengalami apa yang namanya disorientasi waktu dan tempat. Biasanya saya hanya menangis, sampai mama bangun dan menyalakan lilin. Hal itupun berlanjut hingga SMA. Belakangan saya sadar, hal yang sebenarnya saya takutkan bukanlah gelap itu sendiri tapi ketidakmampuan diri saya menjawab dimana dan kapan.
Belakangan saya sangat bersyukur tidak pernah mengalami hal itu lagi, karena seiring bergulirnya waktu dunia menjadi semakin terang, bahkan menjadi terlalu silau. Saya tidak pernah menemui gelap total selain dalam pikiran saya sendiri.

Dan entah mengapa ketika memikirkan kematian, kepala saya langsung dipenuhi perasaan menakutkan tentang gelap. Saya sering membayangkan bagaimana jika ini adalah hari terakhir saya, saya kemudian membuat catatan-catatan password semua akun media sosial saya, menghapus foto-foto aib di HP saya, dan menyetting agar HP saya bebas password agar teman saya bisa memahami apa yang saya pikirkan sebelum saya mati. Entahlah saya merasa konyol sendiri, menyadari bahkan di akhir hayat saya masih memikirkan image. Saya sadar banyak hal yang seharusnya saya lakukan, saya tidak lakukan, dan seharusnya saya tidak lakukan malah saya lakukan. Semua hal harus dipertanggung jawabkan, dan memikirkan itu semua membuat saya merasa tidak siap untuk menghadapinya.

Hidup itu penuh dengan kontradiktif.
Saya tidak terlalu menyukai kehidupan tapi bukan berarti menyukai kematian.
Saya menyukai sunyi, tapi bukan juga berarti menyukai kematian.
Meskipun saya sepenuhnya paham, kematian adalah hal yang pasti dan tidak bisa kita prediksi.
Dan mungkin saya tidak benar-benar membenci kematian. Saya hanya takut akan hal yang saya tidak ketahui, apa yang akan terjadi nanti, dan keyakinan siapakah yang pada akhirnya benar?

Dan dua teman yang meninggalkan saya terlebih dahulu, saya yakin Allah tahu kalian lebih siap menghapi kematian daripada saya.  Kadang juga terlintas "kenapa harus mereka?" orang-orang yang saya kenal dekat dan memiliki mimpi besar akan masa depan. Dan kemudian saya berpikir ulang, tidak ada masa depan yang benar-benar pasti selain kematian, dan hidup adalah tentang akhir. Akhir dalam makna yang sebenarnya.
Life is called life because it's limit, right?

Dan setelah semua ini, lantas apa?

Kita adalah diri kita sendiri, meskipun pada perjalanannya bergesekan dengan garis hidup banyak orang. Hidup adalah tentang meninggalkan atau ditinggalkan, dan seperti yang saya bilang diawal, tidak ada yang benar-benar terjawab sebelum semuanya berakhir.

Dedicated to: Ratih Rahmawati dan Lia Reni Utami. Saya bersyukur bergesekan dengan garis hidup kalian.



mentarinadya. Powered by Blogger.