Immortal Mellow





 
The weeping women - Pablo Picasso

Sore itu seorang gadis berusia belum genap selusin meringkuk di sebuah sudut kamar temaram yang lembab. Wajahnya sama sekali tidak terlihat, tertutup buku yang seharian itu tak pernah lepas dari genggamannya. Kamar persegi panjang yang tidak terlalu luas itu dihuni oleh 6 orang dengan 1 kamar mandi yang dipakai bergantian. Tidak ditemukan dipan di kamar itu, hanya 6 lemari berjejer dan 6 kasur lipat tipis digulung, yang lebarnya jika kita tidur dan berguling ke samping satu kali sudah menyentuh lantai. Samar-samar terdengar isak sesegukan dari gadis di sudut kamar tersebut. Bukan karena gigi susu ketiganya tanggal, bukan karena kasur tipis bergaris yang ditidurinya tiap malam itu membuat punggungnya terasa dibelah-belah, bukan karena tugas hafalan surat yang panjang, dan bukan karena perasaan kecewa terhadap orang tuanya yang tega menempatkannya di tempat itu. Bukan karena itu semua, meskipun semua itu pernah menjadi alasannya menangis di saat lain. Namun, saat itu iya menangis karena salah satu karakter di buku yang iya baca meninggal. Baginya kesedihan itu sangat sederhana, sama seperti halnya kebahagiaan yang sebenarnya hanya ada dalam pikiran.

Gadis itu sangat menyukai cerita dan seringkali terhanyut dalam cerita. Ia pernah mencoba membaca Sayap-sayap Patah karangan Khalil Gibran, namun pada akhirnya menyerah karena tidak mengerti isi dan alur ceritanya. Ia sama sekali tidak paham sastra dan buku mana yang sekiranya bagus untuk dibaca. Perpustakaan sekolahnya tidak besar dan koleksinya pun seadanya, didominasi oleh buku-buku agama dan beberapa novel lama. Tapi dia cukup bahagia mengingat sekolah ia sebelumnya tidak memiliki perpustakaan sama sekali. Dia sering meminjam buku diperpustakaan itu, namun ia bukan orang yang suka berlama-lama disana. Dia sangat suka membaca di kamarnya, dengan pakaian yang nyaman dan posisi seenaknya, serta keheningan. Dia tidak suka cerita fiktifnya terkontaminasi kebisingan realita. Dia membaca apa saja. Dia hafal kisah-kisah nabi di luar kepala. Dia ingat waktu kecil betapa bangganya ia selalu menjawab pertanyaan mengenai kisah-kisah nabi dari guru ngajinya tanpa pernah tertukar satu sama lain. Bagaimana Yunus di perut ikan paus, bagaimana Ibrahim kecil yang mempertanyakan banyak hal, bagaimana Nuh dengan perahunya, Musa yang melawan Firaun, Nabi Luth dan kaumnya. Semua kisah itu hidup dalam kepala gadis tersebut sama seperti kisah-kisah lainnya dari berbagai buku yang ia baca. Perlahan dia tahu bahwa jumlah nabi lebih dari 25, bahwa Firaun itu hanyalah gelar dan bukan nama orang, bahwa yang menghianati Nuh dan Luth adalah keluarga terdekatnya sendiri. Bahwa sedikit sekali ia ketahui tentang hidup ini. Seiiring bergulirnya waktu dia sadar bahwa kisah-kisah tersebut sama sepertinya halnya hidup tidaklah sama dengan apa yang ada di kepalanya waktu kecil. Dan bahwa keyakinan adalah hal yang akan memiliki berjuta alasan untuk kemudian menjadi ragu.

Pada masa-masa ujian, sehabis ashar seluruh anak diwajibkan belajar di luar kamar. Hal ini bertujuan agar semua anak terkontrol oleh pembina. Gadis itu selalu jadi orang pertama yang standby di teras dengan buku biologi besar di tangannya. Spot favoritnya adalah anak tangga. Gadis itu bukanlah penggemar kegiatan belajar, hampir dipastikan 70% isi buku catatannya adalah coret-coretan gambar, dan 80% waktu di kelasnya digunakan untuk memikirkan hal lain. Dibalik buku biologi yang besar itu dia selalu memiliki rahasia kecil, kadang komik jepang, kadang novel yang dipinjamnya dari perpustakaan. Rahasia lainnya adalah, jauh di lubuk hatinya gadis itu sangat benci membaca. Dia sangat ingin sekali membenci membaca. Karena baginya membaca hanya menjawab sebagian kecil pertanyaan dan mendatang sejuta pertanyaan baru lainnya. Membolak-balik emosinya, dan membuatnya memikirkan hal yang seharusnya anak seumurannya tidak pikirkan. Dari bangunan seberang, sepasang mata milik lelaki paruh baya mengintip anak didiknya dari balik kitab. Dia tahu biologi tidak ada di dalam kepala si gadis saat itu.


*Immortal mellow is a song title by Adhitia Sofyan

Mengintip Pantai Cantik di Barat Pulau Jawa





A journey is best measured by friends rather than miles :) -Tim Cahill
Kalau selama ini wisata pantai di Banten terkenal standar dan gak jauh-jauh dari Anyer, carita, dan karang bolong, coba deh sempetin sebentar intip dan liat ada apa di ujung barat pulau Jawa. Tanggal 31 Juli kemarin, saya dan teman-teman berkesempatan mencicipi lezatnya salah satu pulau di barat pulau Jawa: Pulau Oar (bukan lagu Katy Perry). Pulau merupakan salah satu destinasi wisata favorit saya, karena disana hanya ada laut lepas, dan kita yang berdiri di porsi kecil daratan. Pulau Oar sendiri merupakan pulau kecil tak berpenghuni yang terletak bersebelahan dengan pulau Umang. Berbeda dengan pulau Umang yang dibangun resort dan fasilitas wisata lainnya, pulau Oar sengaja dibiarkan alami. Hal yang menjadi daya tarik dari pulau Oar adalah hamparan pantainya yang indah, biota lautnya yang masih asri, dan tentu saja budget yang dibutuhkan lebih minim daripada ke pulau Umang (elus-elus dompet). Untuk menuju pulau Oar ada beberapa rute yang bisa ditempuh, yaitu:
Rute pertama: Tol kebun jeruk, Merak, Serang, Pandeglang, Menes, Labuan, Tarogong, Citeureup, Cigeulis, Cimanggu, Cibaliung, Cimanggu, Desa Sumur
Alternatif lain: Tol kebun jeruk, Merak, Cilegon, Anyer, Carita, Labuan, Tarogong, Citeureup, Cigeulis, Cimanggu, Cibaliung, Cimanggu, Desa Sumur
(Bagi yang menggunakan kendaraan umum bisa menggunakan bis Kali deres-Labuan atau Kampung rambutan-Merak, turun di Serang. Naik mini bis (elf) jurusan Serang-Sumur. Atau turun di Labuan kemudian naik yang jurusan Sumur juga)

Suatu Masa di Bulan Ramadhan



source


Suatu masa di bulan ramadhan, saya ingat bagaimana dulu waktu kecil pernah merengek rengek kelaparan padahal belum setengah haripun terlewati. Bagaimana mama dengan kesalnya menyuruh berbuka, namun saya menolak dan sanggup menahan lapar hingga adzan magrib tiba meskipun dengan terus merengek-rengek kelaparan seharian. Dari situ saya belajar, bahwa saya lebih kuat dari yang saya sendiri pikirkan.

 Suatu masa di bulan ramadhan, pernah terjadi gempa di tengah malam dan semua orang kampung berhamburan keluar rumah. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang ketakutan dan terus berdzikir. Saya dan adik yang sedang tertidur pulas, ditarik-tarik keluar rumah oleh mama menuju kerumunan. Perasaan ngantuk, kaget, dan ketakutan menjadi satu. Dari situ saya belajar bahwa hidup penuh dengan hal yang tiba-tiba, dan untuk itu saya harus selalu siap atas apapun yang akan terjadi.

Suatu masa di bulan ramadhan, saya teringat bagaimana dulu setiap ramadhan tiba hampir selalu bertetapatan dengan musim rambutan. Saya, sepupu dan beberapa teman menghabiskan waktu tiap harinya dengan memunguti rambutan-rambutan tetangga yang lebih dulu berbuah dari rambutan kami sendiri. Malamnya setelah tarawih, kami makan bersama-sama hasil pungutan rambutan tersebut. Tidak ada yang istimewa, tapi perasaan bahagia yang saya rasakan waktu itu masih saya ingat sampai sekarang. Dari situ saya belajar bahwa, jika dari hidup ini yang kita cari adalah kebahagian, maka hal yang kita perlu lakukan bukan bagaimana melihat  keluar namun ke dalam diri kita sendiri.
 
Suatu masa di bulan ramadhan, saya sama sekali tidak pulang hingga lebaran. Pertama kalinya tidak merasakan sahur pertama masakan mama, pertama kalinya lebaran jauh dari keluarga, pertama kalinya puasa di negeri orang. Dari situ saya belajar untuk lebih berani, untuk percaya bahwa masih banyak orang-orang baik di dunia ini, untuk sadar bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari
 
Suatu masa di bulan ramadhan, tetiba masa lalu hilir mudik dengan bebasnya di dalam kepala. Tak terasa banyak hal yang telah hilang dan datang begitu saja. Perlahan pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya beberapa mulai terjawab, beberapa mulai berhenti dipertanyakan, dan beberapa masih mengendap dalam kepala.
 
Isn't it funny how day by day nothing changes, but when you look back everything is different?
(C.S-Lewis)
 

mentarinadya. Powered by Blogger.