Oh Dear Little Fishes



Koi Fish by Heidi Barnett


Suatu hari saya menghadiri acara kumpul-kumpul dengan teman lama di sebuah rumah makan dengan konsep outdoor. Terdapat gazebo-gazebo dan beberapa kolam ikan yang disusun sehingga terkesan natural (Honestly it's a bit funny for me how people nowdays put so much effort to create something natural). Teman saya telah mereservasi sebuah gazebo dengan view yang strategis bersebelahan dengan salah satu kolam ikan. Mulanya sekilas saya melihat kolam tersebut dengan tidak begitu peduli, kemudian lama-lama saya mengamati kolam tersebut dan mulai terjebak dalam pikiran saya sendiri.

Kolam tersebut sama dengan kebanyakan kolam buatan lainnya. Dibuat senatural mungkin dengan ukuran tidak terlalu besar, dindingnya dibuat tidak beraturan menyerupai batu kali. Di sisi sebelah kiri terdapat sebuah pancuran yang mengalirkan air sehingga menimbulkan percikan yang konstan di kolam tersebut. Ada sekitar berbelas-belas ikan disana. Ikan-ikan tersebut berkerumun di percikan air mancur dengan mulut terbuka seperti sedang berebutan makan. Satu dua ikan lainnya terlihat berenang di sisi kolam yang lebih tenang. Beberapa menit saya mengamati kolam tersebut, ikan-ikan masih tetap dengan mulut terbuka  berebutan di sekitar percikan air. Dan mungkin memang selamanya akan seperti itu. Saya tahu binatang tidak memiliki akal, tapi sebagian besar binatang belajar dari hal yang repetitif. Seperti halnya sewaktu kecil saya pernah diajari jika dikejar anjing jangan lari, tapi lakukan gerakan membungkuk seolah-olah mengambil batu dan melempar kepalan tangan ke arah anjing tersebut. Dan benar saja hal tersebut membuat anjing yang awalnya mengejar menjadi lari tunggang langgang ke arah yang berlawanan. Kemungkinan besar si anjing pernah mengalami kejadian dilempar dengan batu oleh orang sebelumnya, sehingga ia memiliki insting untuk lari menghindar. Dan kenapa ikan-ikan tersebut tetap berebutan makan di percikan air setelah mereka tahu itu sama sekali bukan makanan?

 Tiba-tiba saya ingat dengan diri saya sendiri dan manusia pada umumnya. Percikan air yang dikerubungi itu seperti halnya standar sosial pencapaian kita, harta, jabatan, gelar, pergaulan, citra, dan lain sebagainya. Bagaimana jika ikan-ikan tersebut sebenarnya sama seperti kita, tahu bahwa hal tersebut bukanlah tujuan kita yang sebenarnya. Tapi kita tetap membodohi diri kita dengan berkerumun di percikan air tersebut berebutan mendapatkan makanan yang ternyata air, karena berenang sendirian di sisi yang tenang itu membuat kita berfikir lebih dalam tentang kenyataan. Kita membutuhkan distraksi dari pertanyaan usang dan kebosanan jangka panjang.


Tentu saja terlepas dari semua itu, ikan hanyalah ikan. Berakhir di meja makan.








Tales of Sorrow #4


 The Cracks

source


one afternoon, a girl called a guy.
that morning she read some news about a terrorist attack on the other side of the world.
she couldn't help herself and began to digging out the case .
at the end of the day what left on her head was confusion towards human and the world.
the painful feeling of the victims, the perpetrator's motive behind the madness, and the hatred among people.
everything collided in her mind and she felt nauseous.

 
the first five minutes of the phone call was nothing but a crumbly cry.

what happened? he asked.

unfortunately the girl was never so good at explaining thing, but she tried.
she sobbed out through her tears what was on her head unclearly, bu he understood.

he told her that she didn't help anything by overthinking about it.

no. She's not a kind person. She knew she couldn't help them and she didn't intend to.
she's selfish and hates most people just like she hates herself.

it's just she felt like there were cracks on her mind that made everything could easily slip into.
she's consumed by her own thoughts.

you should keep yourself close to reality, he said.



mentarinadya. Powered by Blogger.