RITME #Part1




“Kamu tahu?”  Katamu.
“Tidak semua orang paham bahwa pikiran manusia itu sangat sederhana. Bahkan saat dia berpikir bahwa hal itu sangat rumit”
Aku terdiam.
Menyadari bahwa aku termasuk tidak semua orang itu.
            Aku berjalan dengan langkah ritmis melewati sebuah area pemakaman yang tersusun tidak begitu rapi. Pagi ini beberapa orang berpesta dengan mengenakan dress code warna hitam, di sekitar sebuah gundukan tanah merah baru yang masih basah. Diiringi lantunan tangisan dan berdekorasikan pahatan nisan serta taburan bunga kamboja, makam itu terlihat begitu meriah. Sebenarnya aku pun seharusnya berada disana. Hanya saja aku sedang tak ingin melakukan formalitas menangis dan menabur bunga, hal yang membuatku merasa seperti orang bodoh. Lagi pula aku tidak mengenal mereka. Aku membeku beberapa makam dari kerumunan itu. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan sebuah pertanyaan pada seseorang yang terbaring di dalam gundukan tanah merah baru yang masih basah itu, “Mengapa engkau pergi begitu cepat?”. Aku menunggu. Menunggu. Namun tak ada jawaban. Entah pada menit keberapa aku pergi. Meninggalkan pesta yang belum selesai.
            Jalan setapak yang seolah tanpa akhir membawaku pada kebingungan yang tak berujung. Banyak orang yang bilang bahwa tidak ada yang sia-sia, namun bukankah tidak akan ada kata sia-sia jika benar tidak ada yang sia-sia? Mungkin apa yang aku pikirkan saat ini mengenai sia-sia juga sebenarnya sia-sia. Dan apakah meratapi orang yang meninggal itu juga sia-sia?  atau hanya formalitas manusia agar dibilang berperasaan? Yang aku yakini adalah bahwa masing-masing kita terlalu egois untuk ditinggalkan orang yang masih kita butuhkan. Dan akhirnya kita sadar, bahwa sebenarnya kita meratapi diri kita sendiri yang ditinggalkan, bukan orang yang meninggal.
Rumahku berada tepat di sebrang area pemakaman ini. Di depannya ada pohon rambutan yang bahkan sudah ada sebelum aku bisa mengeja r-a-m-b-u-t-a-n. Di bawah pohon rambutan itu dulu kita menghabiskan hari-hari menertawakan kesedihan. Pada suatu ketika kamu pernah bertanya “mengapa mereka memisahkan orang yang hidup dengan orang yang meninggal?” waktu itu aku bahkan tidak mengerti mengapa orang harus meninggal. Aku hanya menjawab sambil tertawa “mungkin memang seharusnya seperti itu”. Sekarang aku sadar bahwa jawaban yang sebenarnya adalah karena kita tidak akan sanggup hidup diantara kesedihan. Selalu ada hal yang kamu pertanyakan, dan hampir semuanya aku jawab dengan lelucon yang mungkin tidak akan pernah terdengar lucu meski diucapkan oleh siapapun. Sampai akhirnya aku tidak pernah menjawab lagi mengetahui bahwa kamu tidak pernah memperhatikan apa yang aku katakan. Menyadari bahwa pertanyaan itu tidak pernah ditujukan padaku, dan menyesali aku pernah menjawab.
Aku selalu ingat saat kita seperempat dari umur kita sekarang, saat adik perempuanmu meninggal. Itu adalah pertama kali kita bertemu, hal itu kuanggap sebagai kesedihan pertama untukmu sebelum akhirnya aku mengetahui bahwa ibumu telah lebih dulu meninggal saat melahirkan adikmu itu. Waktu itu pohon rambutan di depan rumahku sedang berbuah lebat. Aku melihatmu mencoba mengambil buahnya menggunakan galah. Aku menghampirimu dan bertanya “Kamu ingin rambutan?”, kamu menjawab singkat tanpa memalingkan wajah “iya”. Jari-jari kecilmu menggenggam galah dengan erat seolah-olah yakin benar bahwa usahamu akan berhasil. “Ini pohon rambutanku” ujarku sombong. “Oh” ujarmu tanpa merasa bersalah. Waktu itu aku menjadi ragu apakah itu benar-benar pohon rambutannku. Karena menurut nasihat ayahku kita harus meminta izin kepada yang punya jika ingin meminta sesutu yang bukan milik kita. Dan kamu sepertinya tidak berniat meminta izin pada siapapun untuk mengambil rambutan itu. Apakah benar itu rambutan milikmu? Aku baru sadar bahwa ayah tidak pernah menyebut bahwa pohon rambutan itu milik kami. Setahuku pohon rambutan tumbuh di halaman rumahku. Apakah setiap hal yang ada di halaman rumah kita sudah pasti milik kita? Sepertinya tidak pikirku. Aku benar-benar bingung  saat itu dan aku tidak berniat menanyakan apapun kepadamu yang sepertinya tidak tertarik pada apapun selain buah rambutan itu. Melihat usahamu yang tak kunjung menuai hasil, aku menjadi iba. Aku masuk ke dalam rumah dan keluar membawa satu kresek rambutan hasil dari panjatan ayah tadi pagi. :”ini” aku memberikan satu kresek rambutan itu kepadamu. Kamu pun melepaskan galah dan mengambilnya, dan itu untuk pertama kalinya aku melihatmu tersenyum. “sakaaa..” seorang laki-laki setengah baya yang sepertinya ayahmu mengenakan setelan hitam berdiri disamping mobil yang juga berwarna hitam dari sebrang jalan melambaikan tangan ke arahmu. Dari situ aku tahu bahwa namamu adalah “Saka”. “Terima kasih” ucapmu sambil berlari suaramu terbawa angin hingga aku tidak begitu yakin kamu mengucapkan hal itu. Aku melihatmu dari kejauhan berlari memasuki area pemakaman mengabaikan laki-laki setengah baya yang tadi memanggil namamu. Kamu menghilang ditengah ilalang. Aku pun berbalik arah melangkah masuk rumah. Dalam langkah ketiga aku mendengar kamu berteriak “Hei kamu, terima kasih yaa” kamu melambaikan tangan dengan riang dari kejauhan, dan aku balik melambaikan tangan sebelum akhirnya kamu masuk mobil dan pergi, hilang ditelan tikungan jalan. Dan aku masih dalam langkah yang terhenti dengan tangan yang melambai.
Jingga senja pun mulai datang, seperti biasa aku melakukan ritual meniup bunga dandelion yang banyak tumbuh di sekitar area pemakaman. Dandelion itu terbang terbawa angin senja yang entah akan berhenti dimana. Yang jelas aku selalu merasa mereka sangat bahagia, mengawang-ngawang dalam ketinggian dengan kebebasan tanpa batas. Setidaknya jika mereka dapat berbicara sudah seharusnya mereka berterima kasih kepadaku yang telah membuat mereka terbang, melepaskan mereka dari aroma kesedihan pemakaman ini. Aku berjalan mengitari pemakaman, mencari dandelion berikutnya yang akan kuterbangkan. Hingga sampailah aku pada sebuah makan yang dipenuhi taburan bunga. Didekat nisannya aku melihat kresek hitam penuh berisi rambutan, itu adalah kresek yang aku berikan pada kamu. Terlihat sebuah lipatan kertas di atas kresek tersebut, dan aku pun membukanya. “Ayah tidak tahu dik aku memberikan rambutan ini ke kamu” aku yakin itu adalah tulisanmu. Ku kembalikan kertas itu pada tempatnya, dan mengambil satu buah rambutan kemudian membuka cangkangnya. “Adiknya Saka, semoga kamu suka” ku letakkan buah tadi di dekat nisannya. Aku pun berlari pulang menuju rumah. Melupakan beberapa dandelion lain yang harus aku tiup.
Tak ada orang lain yang mendefinisikan kematian sesederhana kamu. Tak ada orang lain yang datang ke pemakaman ini untuk meletakan sebungkus rambutan di nisan yang masih basah selain kamu. Tak ada orang lain yang tidak mengungkapkan kesedihan atas kematian selain kamu. Mungkin kamu waktu itu belum mengerti apa itu kematian, namun hal lain dalam diriku yakin bahwa sebenarnya kamu lah yang lebih mengerti daripada mereka, orang-orang yang menganggap kita masih kecil waktu itu.
Hal yang membuatku terkejut adalah kamu kembali ke pemakaman pada musim rambutan berikutnya. Awalnya aku berpikir kamu ingin memberikan rambutan lagi untuk adikmu yang meninggal tahun lalu, namun ternyata dugaanku salah. Kali ini ayahmu yang meninggal. Aku melihatmu dari kejauhan, diantara iring-iringan orang berbaju hitam yang mungkin keluargamu. Wajahmu terlalu tenang untuk menyikapi sebuah kehilangan. Tak banyak yang berubah darimu sejak setahun lalu, satu-satunya yang berubah mungkin ingatanmu tentang aku.

One Comment

  1. purplelous says:

    Sukaaaaaa,,,,
    memiliki kehilangan... >.<

Leave a Reply

mentarinadya. Powered by Blogger.