The Poison of Mind
Aku kecup kau dengan sebuah
puisi mungil.
Di suatu pagi, saat matamu
masih sayu.
Dan di luar orang-orang
berduyun dengan perkara hidup.
Aku dan kau disini, menikmati
pagi dengan sebuah puisi.
Aku mengamati setiap kata dari pesan singkat yang tak
pernah dihapus sejak 4 tahun silam. Masa lalu tiba-tiba hilir mudik, semua
memori seakan muncul memenuhi setiap ruang di kepala saling berbenturan tak
terkendali. Untuk kali ini aku membiarkan diriku hanyut ditelan perasaan.
4 tahun lalu, aku bangun tidur dan mendapati puisi
tersebut mengisi layar handphone. Aku tersenyum kecil, untuk sejenak merasa
terasing dari hingar bingar kehidupan. Berbeda dengan kebanyakan orang lain
yang memilih kopi sebagai ritual pagi, aku lebih suka puisi.
Ah, kopi.
Aku ingat pada senja di sebuah cafe kecil di sudut
kota asing yang pernah kita singgahi. Kamu sibuk dengan kopi hitam dan layar
HP, aku sibuk mencoret-coret kertas ditemani eskrim stroberi. Sesekali kita
mengobrol ringan, memperhatikan kiri kanan atau sekedar menertawakan keadaan.
Ah, mengobrol.
Aku ingat bagaimana dulu kita seringkali mengobrol
tentang teori-teori ajaib yang muncul secara tiba-tiba dari kepala kita
masing-masing. Tentang bagaimana aku menjelaskan bahwa dengan tidak memiliki
rencana berarti menambah porsi keterlibatan Tuhan dalam hidup kita. Tentang
bagaimana kau mengajak aku berpikir bergesekan dengan garis yang aku anggap
sebagai batas. Tentang hidup yang lebih dari sekedar baik dan buruk. Pada kesadaran tertentu, aku merasa kita adalah racun
bagi pikiran masing-masing. Dan untuk pertama kalinya aku merasa senang
terkontaminasi.
Di suatu kesempatan, kita menghabiskan senja dengan
diam. Menikmati dunia yang perlahan mulai meredup pada sebuah bangku kayu tua
menghadap jalan. Kemudian kamu bercerita tentang asal muasal segala sesuatu, tentang hal fiksi yang dikaitkan dengan realitas ataupun sebaliknya, anehnya semuanya terasa masuk akal.
Empat tahun kemudian aku mengingatnya dengan jelas, ketika semua hal yang nyata saat ini terasa samar-samar.
Karena pemberian yang paling kekal adalah pemikiran-pemikiran, meskipun untuk menerimanya kita harus rela teracuni.