Sore itu seorang
gadis berusia belum genap selusin meringkuk di sebuah sudut kamar temaram yang
lembab. Wajahnya sama sekali tidak terlihat, tertutup buku yang seharian itu
tak pernah lepas dari genggamannya. Kamar persegi panjang yang tidak terlalu
luas itu dihuni oleh 6 orang dengan 1 kamar mandi yang dipakai bergantian. Tidak
ditemukan dipan di kamar itu, hanya 6 lemari berjejer dan 6 kasur lipat tipis
digulung, yang lebarnya jika kita tidur dan berguling ke samping satu kali
sudah menyentuh lantai. Samar-samar terdengar isak sesegukan dari gadis di
sudut kamar tersebut. Bukan karena gigi susu ketiganya tanggal, bukan karena
kasur tipis bergaris yang ditidurinya tiap malam itu membuat punggungnya terasa
dibelah-belah, bukan
karena tugas hafalan surat yang panjang, dan bukan
karena perasaan kecewa terhadap orang tuanya yang tega menempatkannya di tempat itu. Bukan karena itu semua, meskipun
semua itu pernah menjadi alasannya menangis di saat lain. Namun, saat
itu iya menangis karena salah satu karakter di buku yang iya baca meninggal. Baginya
kesedihan itu sangat sederhana, sama seperti halnya kebahagiaan yang sebenarnya
hanya ada dalam pikiran.
Gadis itu sangat menyukai
cerita dan seringkali terhanyut dalam cerita. Ia pernah mencoba membaca
Sayap-sayap Patah karangan Khalil Gibran, namun pada akhirnya menyerah karena
tidak mengerti isi dan alur ceritanya. Ia sama sekali tidak paham sastra dan
buku mana yang sekiranya bagus untuk dibaca. Perpustakaan sekolahnya tidak
besar dan koleksinya pun seadanya, didominasi oleh buku-buku agama dan beberapa
novel lama. Tapi dia cukup bahagia mengingat sekolah ia sebelumnya tidak
memiliki perpustakaan sama sekali. Dia sering meminjam buku diperpustakaan itu,
namun ia bukan orang yang suka berlama-lama disana. Dia sangat suka membaca di
kamarnya, dengan pakaian yang nyaman dan posisi seenaknya, serta keheningan.
Dia tidak suka cerita fiktifnya terkontaminasi kebisingan realita. Dia membaca
apa saja. Dia hafal kisah-kisah nabi di luar kepala. Dia ingat waktu kecil
betapa bangganya ia selalu menjawab pertanyaan mengenai kisah-kisah nabi dari guru
ngajinya tanpa pernah tertukar satu sama lain. Bagaimana Yunus di perut ikan
paus, bagaimana Ibrahim kecil yang mempertanyakan banyak hal, bagaimana Nuh
dengan perahunya, Musa yang melawan Firaun, Nabi Luth dan kaumnya. Semua kisah
itu hidup dalam kepala gadis tersebut sama seperti kisah-kisah lainnya dari berbagai
buku yang ia baca. Perlahan dia tahu bahwa jumlah nabi lebih dari 25, bahwa
Firaun itu hanyalah gelar dan bukan nama orang, bahwa yang menghianati Nuh dan
Luth adalah keluarga terdekatnya sendiri. Bahwa sedikit sekali ia ketahui
tentang hidup ini. Seiiring bergulirnya waktu dia sadar bahwa kisah-kisah
tersebut sama sepertinya halnya hidup tidaklah sama dengan apa yang ada di
kepalanya waktu kecil. Dan bahwa keyakinan adalah hal yang akan memiliki
berjuta alasan untuk kemudian menjadi ragu.
Pada masa-masa
ujian, sehabis ashar seluruh anak diwajibkan belajar di luar kamar. Hal ini
bertujuan agar semua anak terkontrol oleh pembina. Gadis itu selalu jadi orang
pertama yang standby di teras dengan buku biologi besar di tangannya.
Spot favoritnya adalah anak tangga. Gadis itu bukanlah penggemar kegiatan
belajar, hampir dipastikan 70% isi buku catatannya adalah coret-coretan gambar,
dan 80% waktu di kelasnya digunakan untuk memikirkan hal lain. Dibalik buku
biologi yang besar itu dia selalu memiliki rahasia kecil, kadang komik jepang,
kadang novel yang dipinjamnya dari perpustakaan. Rahasia lainnya adalah, jauh
di lubuk hatinya gadis itu sangat benci membaca. Dia sangat ingin sekali membenci
membaca. Karena baginya membaca hanya menjawab sebagian kecil pertanyaan dan mendatang
sejuta pertanyaan baru lainnya. Membolak-balik emosinya, dan membuatnya
memikirkan hal yang seharusnya anak seumurannya tidak pikirkan. Dari bangunan
seberang, sepasang mata milik lelaki paruh baya mengintip anak didiknya dari balik
kitab. Dia tahu biologi tidak ada di dalam kepala si gadis saat itu.
*Immortal mellow is a song title by Adhitia Sofyan