Matahari menyembul malu-malu.
Hari ini aku kembali menatap langit,
dan bertanya kepada awan: “Dimana dia?”. Namun masih seperti hari-hari
sebelumnya mereka hanya bergerak. Dan aku juga sama seperti hari-hari
sebelumnya, masih tak mampu menafsirkan gerakan yang kuyakini sebagai jawaban.
Matahari meninggi dengan anggun.
Aku berjalan diantara akar-akar
pohon. Sesekali tersandung dan tersungkur ke tanah. Berpeluh dan berdarah. Aku
pernah menanyakan hal yang sama pada pepohonan ini “Dimana dia?” dan kali ini
aku tak ingin mendengar jawaban yang sama. Namun seperti hari-hari sebelumnya
pepohonan itu hanya menggoyangkan daunnya hingga saling bergesek. Dan seperti
yang kau tebak, aku tidak mengerti maksudnya.
Matahari membara dengan gagah.
Aku rebah di padang rumput yang
tidak terlalu hijau. Membaui angin dan membiarkannya menerpa wajah. Lidahku
telah kelu untuk mempertanyakan hal yang tiap hari kutanyakan padanya. Dan kali
ini hatiku yang berkata “Dimana dia?”, aku tahu angin mendengar, karena
kemudian dia berhembus lebih kencang dan aku yakin dia telah menjawab meski
dalam bahasa yang tidak aku mengerti.
Matahari meredup dengan damai
Aku bersandar pada batu besar yang
entah sudah berapa lama membisu disana. Menatap sayu senja yang selalu jingga.
Entahlah aku tidak mengerti, sesering apapun aku melihatnya, senja selalu
membuatku enggan beranjak pergi. Mungkin karena ia menciptakan kedamaian dalam
semburat jingganya, hingga membuatku lupa warna lain dunia. Dan seperti hari-hari
sebelumnya, aku selalu lupa menanyakan “Dimana dia?” padanya. Lupa. Teramat
lupa.
Matahari menghilang sempurna
Aku menerawang menatap gelap di
balik jendela. Berusaha mencari
relevansi antara hitam dengan gelap. Tak ada lagi yang bisa dilihat di
langit selain bulan dan bintang. Mereka seolah merayakan perginya matahari. Aku
menyesal lupa menanyakan “dimana dia?” pada senja tadi, tapi aku enggan
menanyakannya pada bulan dan bintang yang angkuh. Akhirnya seperti malam-malam
sebelumnya aku meneriakkan kalimat yang sama pada gelap “Dimana dia?”. Lagi.
Lagi. Dan lagi. Hingga suaraku parau dan menyisakan isak. Tapi gelap masih
seperti malam-malam sebelumnya, menjawab pertanyaanku hanya dengan kesunyian.
Aku tidak mengerti.
Aku lelah.
Aku
ingin menemukannya.
Karena kehilangan adalah hal yang menyakitkan.
Sangat menyakitakan.