“Tidak
semua orang paham bahwa pikiran manusia itu sangat sederhana. Bahkan saat dia
berpikir bahwa hal itu sangat rumit”
Aku
terdiam.
Aku berjalan dengan langkah ritmis
melewati sebuah area pemakaman yang tersusun tidak begitu rapi. Pagi ini
beberapa orang berpesta dengan mengenakan dress code warna hitam, di
sekitar sebuah gundukan tanah merah baru yang masih basah. Diiringi lantunan
tangisan dan berdekorasikan pahatan nisan serta taburan bunga kamboja, makam
itu terlihat begitu meriah. Sebenarnya aku pun seharusnya berada disana. Hanya
saja aku sedang tak ingin melakukan formalitas menangis dan menabur bunga, hal
yang membuatku merasa seperti orang bodoh. Lagi pula aku tidak mengenal mereka.
Aku membeku beberapa makam dari kerumunan itu. Aku ke sini hanya untuk
menyampaikan sebuah pertanyaan pada seseorang yang terbaring di dalam gundukan
tanah merah baru yang masih basah itu, “Mengapa engkau pergi begitu cepat?”.
Aku menunggu. Menunggu. Namun tak ada jawaban. Entah pada menit keberapa aku pergi.
Meninggalkan pesta yang belum selesai.
Jalan setapak yang seolah tanpa
akhir membawaku pada kebingungan yang tak berujung. Banyak orang yang bilang
bahwa tidak ada yang sia-sia, namun bukankah tidak akan ada kata sia-sia jika
benar tidak ada yang sia-sia? Mungkin apa yang aku pikirkan saat ini mengenai sia-sia
juga sebenarnya sia-sia. Dan apakah meratapi orang yang meninggal itu juga
sia-sia? atau hanya formalitas manusia
agar dibilang berperasaan? Yang aku yakini adalah bahwa masing-masing kita
terlalu egois untuk ditinggalkan orang yang masih kita butuhkan. Dan akhirnya
kita sadar, bahwa sebenarnya kita meratapi diri kita sendiri yang ditinggalkan,
bukan orang yang meninggal.
Rumahku
berada tepat di sebrang area pemakaman ini. Di depannya ada pohon rambutan yang
bahkan sudah ada sebelum aku bisa mengeja r-a-m-b-u-t-a-n. Di bawah pohon rambutan
itu dulu kita menghabiskan hari-hari menertawakan kesedihan. Pada suatu ketika kamu
pernah bertanya “mengapa mereka memisahkan orang yang hidup dengan orang yang
meninggal?” waktu itu aku bahkan tidak mengerti mengapa orang harus meninggal.
Aku hanya menjawab sambil tertawa “mungkin memang seharusnya seperti itu”. Sekarang
aku sadar bahwa jawaban yang sebenarnya adalah karena kita tidak akan sanggup
hidup diantara kesedihan. Selalu ada hal yang kamu pertanyakan, dan hampir
semuanya aku jawab dengan lelucon yang mungkin tidak akan pernah terdengar lucu
meski diucapkan oleh siapapun. Sampai akhirnya aku tidak pernah menjawab lagi
mengetahui bahwa kamu tidak pernah memperhatikan apa yang aku katakan. Menyadari
bahwa pertanyaan itu tidak pernah ditujukan padaku, dan menyesali aku pernah
menjawab.
Aku
selalu ingat saat kita seperempat dari umur kita sekarang, saat adik perempuanmu
meninggal. Itu adalah pertama kali kita bertemu, hal itu kuanggap sebagai
kesedihan pertama untukmu sebelum akhirnya aku mengetahui bahwa ibumu telah
lebih dulu meninggal saat melahirkan adikmu itu. Waktu itu pohon rambutan di
depan rumahku sedang berbuah lebat. Aku melihatmu mencoba mengambil buahnya
menggunakan galah. Aku menghampirimu dan bertanya “Kamu ingin rambutan?”, kamu
menjawab singkat tanpa memalingkan wajah “iya”. Jari-jari kecilmu menggenggam
galah dengan erat seolah-olah yakin benar bahwa usahamu akan berhasil. “Ini
pohon rambutanku” ujarku sombong. “Oh” ujarmu tanpa merasa bersalah. Waktu itu
aku menjadi ragu apakah itu benar-benar pohon rambutannku. Karena menurut
nasihat ayahku kita harus meminta izin kepada yang punya jika ingin meminta
sesutu yang bukan milik kita. Dan kamu sepertinya tidak berniat meminta izin
pada siapapun untuk mengambil rambutan itu. Apakah benar itu rambutan milikmu?
Aku baru sadar bahwa ayah tidak pernah menyebut bahwa pohon rambutan itu milik
kami. Setahuku pohon rambutan tumbuh di halaman rumahku. Apakah setiap hal yang
ada di halaman rumah kita sudah pasti milik kita? Sepertinya tidak pikirku. Aku
benar-benar bingung saat itu dan aku
tidak berniat menanyakan apapun kepadamu yang sepertinya tidak tertarik pada
apapun selain buah rambutan itu. Melihat usahamu yang tak kunjung menuai hasil,
aku menjadi iba. Aku masuk ke dalam rumah dan keluar membawa satu kresek
rambutan hasil dari panjatan ayah tadi pagi. :”ini” aku memberikan satu kresek
rambutan itu kepadamu. Kamu pun melepaskan galah dan mengambilnya, dan itu untuk
pertama kalinya aku melihatmu tersenyum. “sakaaa..” seorang laki-laki setengah
baya yang sepertinya ayahmu mengenakan setelan hitam berdiri disamping mobil
yang juga berwarna hitam dari sebrang jalan melambaikan tangan ke arahmu. Dari
situ aku tahu bahwa namamu adalah “Saka”. “Terima kasih” ucapmu sambil berlari
suaramu terbawa angin hingga aku tidak begitu yakin kamu mengucapkan hal itu.
Aku melihatmu dari kejauhan berlari memasuki area pemakaman mengabaikan
laki-laki setengah baya yang tadi memanggil namamu. Kamu menghilang ditengah
ilalang. Aku pun berbalik arah melangkah masuk rumah. Dalam langkah ketiga aku
mendengar kamu berteriak “Hei kamu, terima kasih yaa” kamu melambaikan tangan
dengan riang dari kejauhan, dan aku balik melambaikan tangan sebelum akhirnya
kamu masuk mobil dan pergi, hilang ditelan tikungan jalan. Dan aku masih dalam
langkah yang terhenti dengan tangan yang melambai.
Jingga
senja pun mulai datang, seperti biasa aku melakukan ritual meniup bunga dandelion
yang banyak tumbuh di sekitar area pemakaman. Dandelion itu terbang terbawa
angin senja yang entah akan berhenti dimana. Yang jelas aku selalu merasa
mereka sangat bahagia, mengawang-ngawang dalam ketinggian dengan kebebasan
tanpa batas. Setidaknya jika mereka dapat berbicara sudah seharusnya mereka
berterima kasih kepadaku yang telah membuat mereka terbang, melepaskan mereka
dari aroma kesedihan pemakaman ini. Aku berjalan mengitari pemakaman, mencari
dandelion berikutnya yang akan kuterbangkan. Hingga sampailah aku pada sebuah
makan yang dipenuhi taburan bunga. Didekat nisannya aku melihat kresek hitam
penuh berisi rambutan, itu adalah kresek yang aku berikan pada kamu. Terlihat
sebuah lipatan kertas di atas kresek tersebut, dan aku pun membukanya. “Ayah
tidak tahu dik aku memberikan rambutan ini ke kamu” aku yakin itu adalah
tulisanmu. Ku kembalikan kertas itu pada tempatnya, dan mengambil satu buah
rambutan kemudian membuka cangkangnya. “Adiknya Saka, semoga kamu suka” ku
letakkan buah tadi di dekat nisannya. Aku pun berlari pulang menuju rumah.
Melupakan beberapa dandelion lain yang harus aku tiup.
Tak ada
orang lain yang mendefinisikan kematian sesederhana kamu. Tak ada orang lain
yang datang ke pemakaman ini untuk meletakan sebungkus rambutan di nisan yang
masih basah selain kamu. Tak ada orang lain yang tidak mengungkapkan kesedihan
atas kematian selain kamu. Mungkin kamu waktu itu belum mengerti apa itu
kematian, namun hal lain dalam diriku yakin bahwa sebenarnya kamu lah yang
lebih mengerti daripada mereka, orang-orang yang menganggap kita masih kecil
waktu itu.
Hal yang
membuatku terkejut adalah kamu kembali ke pemakaman pada musim rambutan
berikutnya. Awalnya aku berpikir kamu ingin memberikan rambutan lagi untuk
adikmu yang meninggal tahun lalu, namun ternyata dugaanku salah. Kali ini
ayahmu yang meninggal. Aku melihatmu dari kejauhan, diantara iring-iringan
orang berbaju hitam yang mungkin keluargamu. Wajahmu terlalu tenang untuk
menyikapi sebuah kehilangan. Tak banyak yang berubah darimu sejak setahun lalu,
satu-satunya yang berubah mungkin ingatanmu tentang aku.
Sukaaaaaa,,,,
memiliki kehilangan... >.<