Satu

Satu, dua, tiga, dan bilangan selanjutnya yang tak kunjung selesai.

Perlahan dan tanpa sadar rongga-rongga kita sudah dipenuhi kebingungan dan pertanyaan - pertanyaan yang sebelumnya pernah kita serahkan pada masa depan. Sesak.

Manusia terus berjalan dan berkembang dengan cepat dan terburu-buru. Mengindahkan kakinya yang tertatih dan penglihatannya yang kabur. 

Konon katanya agar seimbang, kehidupan harus terus bergerak ke depan.

Karena jika berhenti, kita akan terbentur kesadaran.

Satu.

Dua.

Tiga.

Tidak terjadi apa-apa.

 

 

 


Fitting in. Blending. And the constant failure in searching for meaning.






Hari satu dan hari-hari lainnya.
Kegelisahan satu dan kegelisahan lainnya.
Di sela-sela itu kita melebur atau memilih menjadi minyak di antara air.

Kita tidak benar-benar larut katanya,
sampai seluruhnya berserah ditelan bulat-bulat keadaan.

kita tidak benar-benar hidup katanya,
sampai apa yang kita inginkan memporak-porandakan kita dari dalam.


The nothingness of a very solid presence




Suatu saat ia dibawa terbang oleh pikirannya sendiri.

Jauh meninggalkan dirinya dan kenyataan yang mencoba memeluknya hingga perlahan lepas. Yang ia rasakan detak jarum jam terdengar semakin kencang dengan ritme kacau. Semakin kacau hingga akhirnya meleleh. Mencampuradukkan semua kejadian pada satu garis waktu. Semua peristiwa seperti terjadi bersamaan. Kelahiran-kematian, perang dan perdamaian. Ia merasakan kesedihan yang perih, juga kebahagiaan yang belebihan. Jiwanya seakan terlalu lemah untuk menerima semua kejadian dalam suatu waktu secara bersamaan. Dirinya terlalu penuh. Ia mual menahan berbagai letupan perasaan. Kemudian semuanya membuncah. Ia meledak dan kembali pada garis waktu seharusnya, menjadi debu yang melayang-layang. Semuanya bergulir dengan ringan. Ia sadar pada titik paling rendah dan paling tinggi, baik dari suka maupun luka ia akan selalu menemukan hal yang sama, perasaan kosong yang penuh. 



mentarinadya. Powered by Blogger.